Terima Kasih Telah Menjadi Bagian Temu Inklusi #5

Terima Kasih Telah Menjadi Bagian Temu Inklusi #5

Laki-laki Jangan Jadi Bidan bila Tak Ingin Melawan Arus!

oleh Ahmad Faiz


Seperti yang kita tahu, pekerjaan alias profesi bersifat genderless atau tidak memandang entah itu laki-laki ataupun perempuan. Suatu profesi patutlah dinilai dari kompetensi pekerjanya bukan hal-hal di luar itu. 


Nah, di konteks negara kita era kiwari ini, ada satu pekerjaan yang ternyata bersifat kodrati alias melekat pada jenis kelamin tertentu. Pekerjaan itu adalah bidan. Bidan di negeri ini adalah profesi yang hanya diperuntukkan bagi perempuan. Silakan lihat Pasal 1 Permenkes No. 28 Tahun 2017. Di beleid ini disebutkan bahwa bidan adalah perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang telah teregistrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Catat, di situ dengan eksplisit tertulis kata “perempuan”. Namun, di banyak negara lain, misalnya Inggris, Amerika Serikat, atau Filipina, profesi bidan tidak memandang jenis kelamin. Meskipun, dengan catatan, secara jumlah, perempuan yang menjadi bidan jauh lebih banyak daripada laki-laki di negara-negara itu. 


Anggapan bahwa profesi ini hanya “khusus” diperuntukkan untuk perempuan kemudian melahirkan apa yang disebut sebagai ketidakadilan gender. Sebuah studi kualitatif di pedesaan Filipina yang dipublikasikan pada ASEAN Journal of Community Engagement tahun 2022 menyatakan bahwa meskipun bidan laki-laki dianggap profesional dan terlatih, perempuan-perempuan di sana masih lebih memilih bidan perempuan dan mengungkapkan keraguan mereka tentang kemampuan laki-laki dalam memberikan perawatan, terutama selama persalinan dan melahirkan. Mereka menilai bidan laki-laki sebagai “keperempuan-perempuanan”, mengerjakan profesi yang seharusnya dikerjakan oleh perempuan, dan mencap mayoritas mereka sebagai homoseksual. Di penelitian itu pula disebutkan bahwa, ibu-ibu hamil di sana enggan memakai jasa bidan laki-laki karena 1) ragu apakah bidan laki-laki bisa membantu persalinan, 2) keengganan ibu hamil dibantu bidan laki-laki dalam persalinan, dan 3) ibu hamil merasa malu menunjukkan tubuhnya kepada bidan laki-laki. Akhirnya, bidan laki-laki mendapatkan stereotip karena profesi yang mereka pilih dan geluti.  


Hal yang mirip terjadi pula di negeri lain macam Amerika Serikat. Sebuah survei yang diterbitkan dalam Journal of Midwifery & Women’s Health tahun 2020 menunjukkan hasil yang cukup mengejutkan sekaligus memprihatinkan. Survei yang dilakukan pada 864 responden anggota asosiasi bidan di sana mengungkapkan, meskipun mayoritas responden menyatakan bahwa mereka pikir laki-laki pantas berprofesi sebagai bidan, masih terdapat persentase yang cukup besar yang tidak yakin bahwa laki-laki pantas untuk menggeluti profesi yang “dikuasai” perempuan ini. Responden percaya bahwa profesi tersebut bukanlah profesi yang eksklusif. Namun begitu, mereka merasa lebih nyaman bila bidan diampu oleh perempuan. Lebih jauh, beberapa peserta mengutarakan berbagai kekhawatiran tentang adanya laki-laki dalam profesi ini, di antaranya, kecurigaan motif laki-laki dalam menjalani profesi bidan. Sekali lagi, bidan laki-laki mendapatkan stereotip dan stigma karena profesi yang mereka jalani ini.      


Foto oleh Michael Baldovinos di Unsplash


Pekerjaan bidan, laiknya pekerjaan yang lain, harus dinilai dari kemampuannya (kompetensi) bukan hal lain semisal laki-laki atau perempuan. Bukankah keterampilan, kompetensi, dan pelayanan seorang bidan lebih penting daripada jenis kelaminnya? Bila profesi bidan dinilai berdasarkan hal-hal lain, semisal jenis kelamin pekerjanya, apakah nantinya ini akan melahirkan “anak” yang namanya ketidakadilan yang dibantu oleh kita semua yang menjadi "bidannya"?


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.