Terima Kasih Telah Menjadi Bagian Temu Inklusi #5

Terima Kasih Telah Menjadi Bagian Temu Inklusi #5

Apa Gunanya Debat Terbuka bila Yang Disampaikan tidak Bisa Didengarkan oleh Semua Orang?

oleh Achmad Maulana Setiansyah


Sama seperti pemilih lain di Kabupaten Situbondo, saya ikut menyaksikan acara debat antarpasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati Situbondo Kamis malam. KPU Kabupaten Situbondo telah melaksanakan acara Debat Publik Pertama Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati Situbondo untuk Pilkada Serentak Tahun 2024 pada 10 Oktober 2024. Acara tersebut disiarkan langsung di saluran televisi JTV—saluran televisi nasional yang berbasis di Surabaya—dan kanal YouTube KPU Kabupaten Situbondo. Debat pertama mengambil tema Perekonomian yang Berorientasi pada Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat dan Upaya Memajukan Situbondo. 


Acara macam debat ini adalah salah satu ajang kampanye bagi pasangan calon yang akan berlaga dalam pemilihan pada 27 November 2024 untuk berjualan ide dan inovasi kepada para pemilih termasuk pemilih difabel yang jumlahnya, bagi saya, masih misterius. Saya tidak dapat menemukan informasi resmi jumlah pemilih difabel dalam Daftar Pemilih Tetap atau DPT untuk Pilkada Serentak Tahun 2024 di Kabupaten Situbondo. Jangankan jumlah pemilih difabel di DPT, jumlah pemilih di DPT-pun—sampai saat saya menulis ini—tidak bisa saya akses pada laman resmi KPU Kabupaten Situbondo serta akun Instagram dan Facebook lembaga yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pemilihan di tingkat kabupaten ini. 


Pamflet digital dan informasi terkait pelaksanaan debat publik pertama tersebut telah bertebaran di dunia maya. Banyak ajakan termasuk kepada difabel dari kanal media sosial maupun grup-grup WhatsApp untuk menonton sawala antarcalon pemimpin di Kabupaten Situbondo. Debat itulah yang bisa menjadi tempat untuk membeli ide dan inovasi yang akan diejawantahkan oleh pasangan calon yang akan dipilih oleh pemilih termasuk, sekali lagi, pemilih difabel.  


Sebelum menonton debat, saya hubungi dengan spontan teman tuli—istilah untuk menyebut difabel sensorik tuli—yang saya kenal akrab dan juga tinggal di Kabupaten Situbondo. Namanya Moh. Abu Hasan. Saya bilang padanya, “Mas, ada debat malam ini. Kamu nggak nonton?”      


Sontak, ia langsung merespons dengan memberikan tautan yang akan menayangkan langsung debat tersebut. “Apakah betul ini link-nya?” tanyanya balik padaku.    


Kemudian saya timpali, “Betul, Mas Hasan. Selamat menyimak, ya debat calon bupati.” Lepas beberapa menit debat dimulai, ponsel saya bergetar tanda ada pesan masuk. Pesan baru datang dari Mas Hasan. 


Tangkapan layar YouTube acara Debat Publik Pertama Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati Situbondo dengan Juru Bahasa Isyarat di pojok kanan bawah/Istimewa


“Saya nggak paham! Kok pakai SIBI, Pak Lana?” bunyi pesan darinya. SIBI sendiri adalah kependekan dari Sistem Isyarat Bahasa Indonesia dan memiliki kosakata yang rumit serta mengandung banyak simbol dan metafora. Ini berbeda dengan bahasa isyarat yang jamak digunakan oleh teman tuli, yakni Bisindo (Bahasa Isyarat Indonesia) yang lebih sederhana dan mudah dipahami serta mengandung banyak gestur dan mimik. “Tolong (pakai, Red.) JBI dong!” lanjutnya disertai dengan emotikon menangis. Mas Hasan bermaksud bahwa JBI atau Juru Bahasa Isyarat menggunakan Bisindo alih-alih SIBI yang memang terasa kurang familier bagi teman tuli. 


Saya yang mulai dari tadi hanya memperhatikan jalannya debat teralihkan ke sebuah kotak yang berada di pojok kanan bawah layar kaca. Saya pun memastikan kembali kepada Mas Hasan. “SIBI sepertinya itu, ya, Mas di debat bupati sekarang?” tanya saya padanya.


“Iya, saya nonton di YouTube kok (pakai, Red.) SIBI JBI. Padahal, banyak JBI di Surabaya (yang memakai Bisindo, Red.),” balasnya lengkap dengan emotikon orang menepuk jidat.


Saya mulai bertanya-tanya mengapa KPU Kabupaten Situbondo menyediakan aksesibilitas berupa Juru Bahasa Isyarat bagi teman tuli, tetapi tidak sesuai dengan kebutuhan kebanyakan teman tuli sendiri. Bagi saya dan aktivis isu-isu difabel, penyediaan aksesibilitas tidak boleh berdasarkan asumsi. Yang tahu kebutuhan difabel adalah difabel itu sendiri. Mencoba menawarkan solusi, saya kirim pesan padanya, “Coba kasih masukan, Mas, di Live Chat sama KPU. Siapa tahu didengarkan.”


“Oke, saya coba kasih masukan,” respons Mas Hasan di ponsel saya.


Saya pun terus menikmati jalannya debat yang saat itu masih sampai pada sambutan dari Ketua KPU Kabupaten Situbondo. Beberapa menit kemudian, pesan baru kembali masuk. Pesan kali ini disertai tangkapan layar atau screenshot dari Mas Hasan saat memberikan masukan di fitur Live Chat. Di situ tertulis, “JBI siapa? Kok SIBI ya? Bukan Bisindo, soal ada JBI asal Situbondo ada ya kenapa gak undangan JBI Situbondo, ya? Maaf ini saya tuli gak paham omong apa SIBI ya. Tolong teks CC dong dibuka.” Mas Hasan meminta hak terkait aksesibilitas bagi teman tuli seperti dirinya. Tak hanya meminta haknya, ia pun menawarkan solusi untuk membuka fitur CC di YouTube. CC atau Closed Caption di YouTube adalah representasi teks dari apa yang diucapkan dalam sebuah video. Tujuan utama CC ini adalah agar konten video bisa diakses oleh pemirsa dengan keterbatasan pendengaran atau dalam situasi di mana audio sulit terdengar. Saya hanya bisa menjawab pesannya, “Sabar, ya, Mas.”


Saya rasakan bahwa debat publik pertama ini berlangsung seru selama kurang lebih dua jam. Namun, apa yang saya rasakan berbeda dengan yang Mas Hasan rasakan. Dia tidak mendapatkan poin-poin utama dari apa yang dipaparkan oleh kedua pasangan calon dari awal hingga akhir debat. Saat debat memasuki segmen terakhir, saya mendapatkan pesan lagi dari Mas Hasan.


“Jelaskan tolong saya nggak paham omong (perdebatan, Red.) ini. Bisa minta tolong jelaskan?” bunyi pesannya.


Saya pun dengan bergegas mengetik pesan balasan untuknya. “Nanti, ya, coba kita kasih masukan sama KPU untuk debat kali ini,” pesan saya padanya.


Saya lalu membayangkan Mas Hasan duduk menonton dengan tatapan hampa debat antara dua calon pucuk pimpinan pemerintahan di Kabupaten Situbondo. Mereka inilah yang akan banyak mengurusi hajat hidup masyarakat termasuk dirinya di kabupaten yang pernah mendeklarasikan diri sebagai kabupaten inklusif yang ramah kepada difabel pada Desember 2018 silam. Ia mencoba menjadi pemilih yang bijak dengan ikut menonton debat sebagai salah satu bekalnya untuk menentukan pilihan nanti di TPS. Namun, tak ada satu pun kata yang disampaikan oleh kedua pasangan calon kepala daerah di kabupaten tempat ia dan keluarganya tinggali ini yang bisa ia pahami. Mas Hasan tidak mendapatkan salah satu haknya, yaitu hak memperoleh informasi yang dijamin dalam Pasal 5 ayat (1) huruf t pada Undang-Undang No. 8 Tahun 2016. JBI yang diharapkan menyediakan aksesibilitas baginya ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan Mas Hasan. Fitur CC di YouTube-pun tidak ia peroleh. Dalam bayangan saya, ide dan inovasi yang dilontarkan saat debat oleh dua pasang kandidat itu hanyalah bayangan kabur yang berlalu begitu saja untuknya.


Mas Hasan mungkin hanya bisa tersenyum getir dan sadar bahwa suara teman-teman tuli sepertinya tak dianggap penting dalam debat pertama itu. Menjadi ironi ketika calon pemimpin dan penyelenggara pemilihan hanya menyuarakan keadilan dan kesetaraan, tetapi itu hanya sampai di mulut dan bibir belaka dan tidak diejawantahkan ke dalam tindakan-tindakan nyata. Mereka abai bahwa tidak semua orang bisa mendengar suara-suara itu. Bagi mayoritas orang, debat kemarin mungkin hanyalah debat biasa dan merupakan acara saban lima tahunan saja. Padahal, bagi Mas Hasan dan teman tuli lain, debat perlu “diperdengarkan” kepada semua termasuk teman tuli dengan menyediakan aksesibilitas yang sesuai dengan kebutuhan mereka.


Saya, Mas Hasan, dan difabel lainnya tentu punya harapan bahwa keadilan, kesetaraan, dan semua hal yang diserukan lainnya saat pemilihan tak berhenti hanya di kata-kata saja. Bila kata-kata itu tidak terkonversi menjadi aksi-aksi nyata, sudahilah saja seruan-seruan nirguna itu. Bagi kami, seruan akan keadilan dan kesetaraan akan berguna bila kami juga mendapatkan hak untuk memperoleh informasi yang sama, misalkan diberikan aksesibilitas yang sesuai dengan kebutuhan kami. Penyediaan JBI dengan Bisindo pada debat kedua bisa menjadi salah satu contoh konkretnya. Ingat, hak mendapatkan informasi tidak terbatas hanya pada perkara sesuatu yang dapat dilihat dan didengarkan saja, tetapi lebih jauh dari itu adalah bagaimana informasi bisa pula dijangkau oleh teman tuli dengan bahasa yang juga dimengerti oleh mereka. 

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.